Panas ekstrem melanda Arab Saudi pada musim haji tahun ini. Seribuan jemaah dikabarkan wafat, banyak di antaranya tak tahan karena paparan panas. Ilmuwan beberkan penyebabnya.
Suhu pada musim haji mencapai 51,8 derajat celsius, bahkan tembus hingga 53 derajat celsius. Kementerian Kesehatan Arab Saudi mencatat, jumlah kematian mencapai 1.301 dengan 83 persen di antaranya adalah jemaah haji ilegal dan berjalan jauh di bawah paparan terik matahari tanpa alat pelindung.
Tim ilmuwan Eropa yang bekerja pada ClimaMeter baru-baru ini menganalisis penyebab panas ekstrem yang melanda Arab Saudi pada musim haji. Para ilmuwan ini menggunakan pengamatan satelit dari empat dekade terakhir untuk membandingkan pola cuaca dari 1979 hingga 2001 dan 2001 hingga 2023.
Hasilnya, para ilmuwan menyimpulkan bahwa ada peningkatan suhu hingga 2,5 derajat celsius. Mereka menafsirkan panas ekstrem musim ini diperparah perubahan iklim yang disebabkan oleh manusia.
"Kami menyimpulkan bahwa gelombang panas yang mirip dengan panas di Arab Saudi lebih hangat hingga 2,5 °C daripada gelombang panas terhangat yang pernah terjadi di negara tersebut," bunyi rilis pers ClimaMeter yang diperbarui pada 26 Juni 2024.
"Kami menafsirkan gelombang panas di Arab Saudi sebagai peristiwa yang tidak umum yang sebagian besar karakteristiknya dapat dikaitkan dengan perubahan iklim yang disebabkan oleh manusia," tambah keterangan tersebut.
Ilmuwan berkeyakinan variabilitas iklim alami kemungkinan hanya memainkan peranan kecil dalam panas ekstrem yang terjadi di Arab Saudi selama musim haji itu.
Ilmuwan di Pusat Penelitian Ilmiah Nasional Prancis yang bekerja pada analisis ClimaMeter, Davide Faranda, menyebut suhu ekstrem yang mematikan di Saudi ini berkaitan langsung dengan pembakaran bahan bakar fosil.
"Panas yang mematikan selama haji tahun ini berkaitan langsung dengan pembakaran bahan bakar fosil dan telah mempengaruhi jemaah haji yang paling rentan," kata Davide seperti dikutip dari Reuters, Selasa (2/7/2024).
Perubahan iklim telah membuat gelombang panas lebih panas, lebih sering terjadi, dan berlangsung lama. Reuters turut melaporkan, temuan para ilmuwan sebelumnya dari World Weather Attribution menunjukkan, rata-rata secara global, gelombang panas 1,2 celcius lebih panas daripada di era praindustri.